People every day to eat from the mouth down, filling her stomach. Is it every day to eat from the mouth upwards, filling his brain (learning)?
(
Meladee McCarty)

Jumat, 10 Desember 2010


KOTA DAYWON
I.           Pertemuan yang dinantikan
Kota Daywon, sebuah kota kecil yang memiliki tata kota yang bisa dikatakan cukup indah meski tak semewah Paris namun kota kecil ini bisa dibilang punya keindahan yang cukup disetarakan dengan paris, dan lagi meski tanpa bangunan bersejarah seperti di Paris. Kota yang tidak begitu ramai, hanya beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang ditambah lagi dengan jalur kendaraan yang hanya satu jalur semakin memperjelas keadaannya.
Kota Daywon sangat menarik karena letaknya yang mana kau bisa menjangkau pantai dan pegunungan. Meski tak banyak tempat wisata, bahkan tak ada permandian air panas, namun kota ini lumayan sering dikunjungi pelancong karena keunikan lokasinya. Kamu bisa mengelilingi kota kecil ini hanya sekitar 6 jam. Kota ini tidak begitu mewah seperti kota lainnya, hanya ada 4 gedung tinggi yang dianggap kembar karena ketinggiannya yang sama meskipun didesaign oleh arsitek yang berbeda, dan letaknya yang entah kebetulan atau disengaja hampir simetris bila kamu mencoba lagi memasang kaca secara menyilang maka akan seperti bercermin padahal waktu didirikannya berbeda begitu juga pemiliknya. Gedung yang berada di kawasan Selatan, kawasan pantai milik pengusaha perhotelan, nyonya Arthati. Gedung itu dimanfaatkannya sebagai hotel dan merupakan hotel satu-satunya di kota itu, hotel Jewel Day .Gedung dikawasan timur merupakan milik LSM swasta yang dimanfaatkan sebagai tempat penampungan warga yang tidak memiliki tempat tinggal, panti asuhan dan perkantoran LSM itu sendiri. Gedung yang terletak di kawasan barat kota merupakan milik pemerintah kota yang sekarang dimanfaatkan sebagai gedung perkantoran pemerintah. Sedangkan gedung di kawasan utara kota merupakan milik pengusaha asing di kota Daywon, tuan Bill maqgual. Aktifitas kerja sekaligus tempat tinggalnya bersama 6 anak perempuannya dulu berlangsung di gedung itu.
Sore hari di Kota Daywon akan sangat menyenangkan apalagi bila diamanfaatkan untuk jogging di taman Vinella yang tepat berada di tengah kota, dalam arti sesungguhnya tentu. Taman Vinella memang tepat berada di tengah kota Daywon bila kau ingin mencoba mengukur kota itu. Taman ini terkenal dengan sebuah pohon beringin yang sangat tua, besar dan rindang yang berada tepat ditengah-tengah taman tersebut dengan tempat duduk batu disekelilingnya, sangat cocok untuk bersantai dan membaca atau sekedar untuk online karena seluruh taman memang sudah dilengkapi dengan wireless connection. Sejarahnya pohon itu telah ada bersamaan dengan diberinamanya kota Daywon.
Sore ini, tepatnya pukul 17.00 seperti biasa taman Vinella sangat ramai oleh warga kota sendiri dan beberapa pelancong dengan kamera-kameranya. Melinda, seorang anak perempuan dari tuan bill tampak sangat menikmati suasana sore yang cukup cerah itu dengan membaca sebuah novel yang entah karangan siapa dibawah pohon beringin yang terkenal itu. Seorang pelancong mendekatinya dengan sebuah kamera yang tergantung di lehernya. “Click” suara jepretan yang cukup keras mengagetkan Melinda dan membuyarkan bacaannya. “hei, what are you doing?” katanya dengan tatapan yang sangat jengkel kepada pelancong itu. Pelancong itu hanya membalasnya dengan senyuman kemudian mendekatinya dan duduk disampingnya. Melinda melanjutkan bacaannya tanpa sadar kalau pelancong itu telah duduk disampingnya. Pelancong itu menghela nafas sejenak kemudian mencoba mengalihkan perhatian Melinda dari bukunya. “Melinda! Kamu lupa dengan ku?”
Melinda sedikit kaget mendengar namanya disebut. Menatap tajam dan memperhatikan dengan seksama pelancong itu, Melinda kemudian terkejut luar biasa.
“oh god, Kak Natasyah?”
Melinda menerjang Natasyah dengan pelukan, sesaat kemudian melepasnya.
“Kapan…? Ya ampun banyak perubahan…, sampai-sampai aku sulit mengenalimu kak!”
Natasyah hanya tersenyum dan kembali duduk.
“Apa ayah tahu kalau kakak datang?” pertanyaan tiba-tiba muncul dengan suara dingin dari Melinda.
Natasyah kembali menghela nafas, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul.
“hmm, belum dia belum tahu. Aku baru saja tiba dari Medan, dari check in di hotel langsung kesini. Seperti dugaaan kakak salah satu adik kakak pasti ada di taman ini!”
“Hotel? Kenapa di hotel? Kenapa tidak di rumah? …Maksudku di gedung tempat tinggal kita!.....” belum selesai pertanyaan-pertanyaan Melinda, Natasyah menepuk bahu adiknya untuk menyela dan hanya terdiam dan terus menatap adiknya. Melinda yang seperti sudah tahu jawaban dari kakaknya hanya tersenyum kecut dan tidak berkata apapun.
Natasyah juga merupakan anak perempuan dari tuan Bill, anak pertama tepatnya. Setelah tuan Bill dan nyonya bercerai sekitar 3 tahun yang lalu mereka masing-masing mengasuh 3 anaknya. Natasyah anak pertama, Joe anak ketiga, dan Ericha anak bungsu di asuh oleh ibunya sementara Lonita anak kedua, Melinda anak keempat dan Vivian anak ke lima diasuh oleh ayahnya. Namun berselang sekitar 2 bulan mereka bercerai ibu mereka meninggal dan hak asuh anak sepenuhnya di tangan ayahnya. Natasyah yang pada waktu itu telah berumur 20 tahun sangat tidak menyukai kebijakan ayahnya yang memaksa mereka untuk tinggal digedung kantor ayahnya bersama dengan pekerjaan-pekerjaan kantor. Dia menentang habis-habisan saat ayahnya akan menjual rumah yang ditinggalinya bersama ibunya semenjak bercerai, pertengkaran anak dan ayah yang sangat wah hingga membuat Natasyah memutuskan meninggalkan kota Daywon, meninggalkan keluarganya tanpa ada jaminan keuangan dari ayahnya.
“Kakak, kami sangat merindukanmu! Terutama kak Joe…… sudah 2 tahun lebih kakak pergi, tapi tak pernah ada kabar, apa kakak tidak pernah buka e-mail?”
Natasyah berdiri, memetik daun pohon beringin yang dijangkaunya.
Melinda merasa pertanyaannya salah, bahkan dia sendiri ragu bagaimana kakaknya hidup tanpa sepeser pun uang dari ayahnya, bagaimana kakaknya hidup selama ini, dia tinggal dimana. Melinda merasa sangat menyesal menanyakannya meskipun kakaknya tetap harus tahu bahwa  selain Joe memang sangat merindukannya bukan hanya karena Joe sangat dekat dengan Natasyah tapi tapi juga karena sekarang ini Joe sedang sakit parah 1 bulan semenjak Natasyah meninggalkan kota. Melinda dan Lonita berusaha menghubunginya baik itu melalui telephone maupun e-mail tapi tetap tak ada jawaban.
“e-mail?” Natasyah tersenyum…. Melinda tampak semakin ketakutan dengan pertanyaannya tadi.
“lupa passwordnya sayang!”
Jawaban yang tidak disangka Melinda dan setidaknya membuatnya sedikit lega dengan jawaban itu.
“kakak buat e-mail baru, rencana nya sih mau menghubungi kalian tapi alamat e-mail kalian saja kakak tidak hafal….. oh iya, kabarnya si kecil gimana?”
Percakapan mereka berlanjut. Hingga serombongan gadis dengan pakaian lusuh dan sepatu olahraga mendekati pohon beringin itu. Mereka berhenti sejenak saat melihat Natasyah dan Melinda kemudian duduk di kursi lain yang ada disamping keduanya. Natasyah memperhatikan salah satu dari rombongan itu dari kaki hingga kepala. Gadis dengan tinggi sekitar 160 cm, Celana kargo yang robek tepat di lutut, baju Donald Disney putih yang seharusnya putih tampak sedikit kemerahan, rambut pendek yang sedikit berantakan, wajah yang bulat dan mata yang sedikit sipit.
“ya ampun, Andri?” Natasyah segera menghampiri sosok gadis yang seperti dikenalnya. Gadis itu terdiam sejenak menatap sumber suara yang memanggilnya, dan kemudian tersentak.
“Naty?” Andri mendekati dengan senyum lebar dipipinya seolah tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. “ya ampun, lama tak melihatmu sobat!”
“lama? Sangat lama tepatnya. Bahkan kamu masih mengingat nama panggilan yang kamu berikan waktu sekolah? Sungguh aku tak berharap lebih, mengingatku sebagai teman sekolah mu saja sudah cukup, Boy!”
“Boy? Lama tak mendengar nama itu dipanggil untuk ku”
Mereka lalu berpelukan lama, sepertinya lupa bahwa ada orang lain disana yang juga terheran-heran melihat keakraban mereka. Viona salah satu dari rombongan tadi malah lebih heran karena tak menyangka teman dari musuhnya di sekolah sangat akrab dengan kakaknya, kakak angkat tepatnya di penampungan yang didirikan LSM. Melinda pun lebih kaget lagi melihat kakaknya berteman dengan salah satu pengungsi, orang-orang di kantor sekaligus rumahnya menyebutnya demikian.
“Boy, sepertinya mereka lupa dengan ku!” Natasyah memandang keempat anak lain yang berada di kursi yang juga memperhatikannya. “Hei, Emily….. masih sering bertengkar dengan Joe?”
Emili salah satu dari rombongan itu semakin heran, bahkan nama kami pun dia tahu? Pikirnya. Dia juga tahu tentang dirinya dan Joe? Siapa orang ini….
“Sudah lama tak ketemu Joe, mungkin dia tak mau berteman dengan kami lagi. Viona bilang keluarga Bill tak mau berteman dengan orang yang tak punya keluarga dan tempat tinggal. Bahkan Viona bilang mereka memanggil kami pengungsi!” ujar Emily blak-blakan sepertinya tidak mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah keluarga Bill.
“Oh yah? Ku kira kalian teman baik setelah pertengkaran hebat itu… Nanda apa kabar? Aku kagum dengan pertemanan kalian!
Emily tampak berpikir sejenak, lama dan akhirnya menyadari bahwa lawan bicaranya adalah keluarga Bill. Belum sempat Emily menyampaikan dugaannya, Viona tiba-tiba memotong.
“sebenarnya anda ini siapa? Tahu nama Emily, Nanda. Menurut dugaan ku anda sama dengan gadis yang berdiri dibelakang anda, penghuni gedung mewah itu. Iya kan?”
Mendesah nafas sejenak
“sekumpulan orang-orang sombong!” lanjutnya
Natasyah dan Andri hanya tersenyum sedangkan Melinda di belakang seperti kebakaran janggut karena marah sekaligus jengkel mendengar kata Viona
“ Boy, sepertinya kamu belum menjelaskan kepada anak ini, namanya?”
“Viona, begitulah. Dia sudah 2 tahun bersama kami. Kupikir tak ada hubungannya dengan keluarga mu… sungguh tak menyangka dia berpendapat seperti itu!” jawab Andri
Melinda sangat marah hingga membisikkan kakaknya dengan apa yang ada di pikirannya, bagaimana mungkin kakaknya berteman dengan salah seorang dari mereka bahkan mengenal mereka. Mendengar itu akhirnya Natasyah bereaksi.
“Melinda, perkenalkan ini sahabat kakak Andri. Berteman dengannya dari TK. Yang ini adik nya Emily, temannya Joe masih ada satu lagi yang seumuran Joe namanya Nanda tapi sepertinya tak disini yah? Kalo tidak salah ini Novi, dan ini Jenefer seumuran dengan Ericha teman TK, kalo skarang kakak kurang tahu!”
Melinda semakin heran dengan kakaknya, dia kenal semuanya kecuali Viona yang memang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Novi terdiam, sedangkan jenefer yang masih sangat kecil itu sepertinya tidak mengerti dengan arah pembicaraan mereka kecuali satu nama yang di sebut Ericha.
“Ericha? Kamu siapanya Ericha? Tanya Jenefer
“kak Natasyah? Oh aku ingat skarang….. Jen, kakak ini kakak nya Ericha! Kak Natasyah yang mendamaikan ku dengan Joe adiknya 4 tahun lalu hingga kami bisa dikatakan bersahabat… aku masih ingat” Emily menjawabnya dengan sangat semangat sementara Natasyah dan Boy tertawa melihat ekspresinya.
“Joe pernah cerita katanya kak Natasyah pergi dari rumah ya?…..”
Sejenak semua diam, suara hembusan angin semakin jelas kini.
Melihat jamnya sesaat Natasyah sadar sudah waktunya mereka berpamitan hari ini. Meskipun serasa tidak ingin meninggalkan pohon itu karena pertemuan yang sudah lama mereka inginkan utamanya Andri dan dirinya.
“Boy, sudah hampir malam aku harus segera kembali….. besok aku bakalan kesini lagi!
“ya ampun, aku hampir saja lupa waktu, kami juga harus kembali… oh iya, kamu nginap dimana?” Andri memberi pertanyaan yang membuat yang lainnya bingung kecuali Natasyah tentunya karena dia tahu bahwa sahabatnya itu tidak akan mau menginap di gedung mewah milik ayahnya.
“kamu tahu saja, di hotel Jewel Day! Ya sudah aku pergi dulu, sampai ketemu besok!......
“Melinda, jangan bilang ke Ayah aku datang… besok aku tunggu kamu dan adik-adik ku yang lain di sini, oke sayang!” Natasyah membalikkan badan dan pergi sambil melambaikan tangannya ke udara. “Sebuah kejutan lebih baik” tambahnya.
Melinda tampak sangat kecewa saat kakaknya pergi sebelum memberitahukannya bahwa Joe sedang sakit parah, ditambah lagi tugasnya yang berat untuk mengajak kakak dan adik nya ke taman Vinella besok tanpa memberitahu bahwa kakak tertuanya ingin bertemu. Hal yang tidak masuk akal menurutnya, diantara 6 bersaudara hanya dirinya, Joe dan Lonita yang biasa ke taman ini, dialah yang paling sering sementara Joe terbaring dikamarnya sejak 2 tahun yang lalu dan tidak mungkin lagi ke taman itu.
Sementara itu disisi lain rombongan gadis berpakaian lusuh itu juga pergi meninggalkan tempatnya, sedikit senyum tertoreh diwajah Andri melihat wajah kecewa dari adik natasyah. Dia sepertinya mengerti bahwa tugas yang diberikan Natasyah ke adiknya ini hampir tidak mungkin dilakukannya lepas dari ketidaktahuannya tentang keadaan Joe.
II.      Hotel Jewel Day
Sekitar pukul 18.45 Natasyah tiba di kamar hotel Jewel Day yang telah disewanya sebagai tempat tinggal selama dia berada di kota Daywon. Kamar nomor 423 yang berada dilantai 4 hotel itu bisa dibilang kamar kelas ekonomi bila disetarakan dengan kereta api. Sebuah ranjang 2x1 yang terletak di tengah kamar dan menghadap langsung dengan pintu, sebuah meja disebelah kanannya dengan sebuah telepon yang hanya dapat terhubung dengan pihak hotel dan lemari tepat didepan pintu toiletnya.
Natasyah belum sempat merapikan barang bawaan saat tiba pertama kali di hotel itu, seperti yang dikatakannya pada Melinda setelah check in dia segera ke taman Vinella. Natasyah menghela nafas, dan seperti sangat lega telah bertemu dengan orang-orang yang sangat dirindukannya. Dia langsung mengambil travel bag yang ada disamping ranjangnya dan mengeluarkan satu persatu pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari, melihat barang bawaannya sepertinya dia akan berada lama di kota Daywon. Setelah travel bag nya di angkat dan ditempatkan di atas lemari, Natasyah masuk ke toilet membawa sebuah handuk hotel yang sepertinya telah dipersiapkan oleh pelayan hotel di atas kasurnya.
Sementara itu di lantai dasar tepatnya di meja reseptionis telepon berdering.
“hotel Jewel Day, ada yang bisa kami bantu?” suara lembut dari seorang reseptionis muda yang memiliki ukuran tubuh yang ideal layaknya seorang model.
“saya minta dihubungkan dengan tamu yang bernama nona Natasyah!” suara dari penelpon itu tampak sangat bersemangat
“sebelumnya ini dengan siapa?”
Tampak ragu menjawab pertanyaan sang reseptionis, tapi bila dia tidak menjawab maka dengan yakin reseptionis tak akan menghubungkannya dengan Natasyah.
“emm, saya Ericha. Adik nya”
“tolong tunggu sebentar, segera kami hubungkan”
Suara telepon terdengar dari kamar 423, tapi sepertinya Natasyah tidak mendengarnya karena masih berada di toilet. Malahan terdengar bahwa telepon nya meminta pesan suara.
“Nona Natasyah, ada seseorang yang bernama Ericha yang meminta dihubungkan dengan anda. Bila anda mendengar pesan ini tolong segera hubungi pihak reseptionis hotel. Terima kasih sebelumnya”
“maafkan kami nona, tampaknya nona Natasyah tidak mengangkat teleponnya. Tapi kami telah memberi pesan pada nya untuk segera menghubungi kami setelah mendengar pesan kami. Ada pesan lain yang bisa kami sampaikan padanya?” ujar reseptionis itu sesaat setelah memutuskan sambungan telepon ke kamar 423
“oh, sayang sekali”
Penelpon itu terdiam sejenak
“hmm, tolong berikan nomer ini padanya bila dia menghubungi anda. 082345767688. Itu saja terima kasih” sambungnya
“baiklah nona”
Terdengar bunyi sambungan telepon yang telah diputuskan.
Sekitar 15 menit setelah penelpon itu memutuskan sambungannya telepon di meja reseptionis kembali berdering. Resepsionis tadi mengangkatnya, sedikit senyum diwajahnya tampaknya penyewa kamar 423 telah mendengarkan pesan nya tadi. Seperti pesan si penelpon tadi, resptionis itu memberikan nomer seperti yang di minta, setelah itu si reseptionis kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya.
Sementara itu dikamar 423, Natasyah kelihatan sangat heran dengan nomer yang diberikan reseptionis padanya. Sebuah nomer handphone, apa benar milik adiknya Ericha. Wah hebat sekali ayahnya membiarkan anak berumur 8 tahun memiliki handphone nya sendiri, pikirnya. Natasyah semakin heran, sepertinya reseptionis tadi tidak mengatakan seorang anak ingin menghubunginya, tapi seseorang… wah apakah suara Ericha sudah terdengar dewasa sejak perpisahan mereka? Tampaknya Natasyah sangat yakin bahwa yang ingin menghubunginya bukan lah adiknya Ericha, tapi seseorang yang mengenalnya dan mengetahui keberadaannya.
Dengan handuk yang masih melekat dikepalanya, natasyah menekan digit per digit dengan teliti nomer yang diberikan reseptionis tadi pada handphone bermerk Motorola tipe Milestone miliknya. Terdengar bunyi sambungan, dan kemudian seseorang berbicara, tampaknya Natasyah seperti mengenal suara itu entah dimana, dan yang jelas bukan suara adiknya.
“halo, katanya anda ingin berbicara dengan saya?”
Terdengar suara orang itu tertawa, mungkin menertawakan suara Natasyah yang terdengar bingung dan penasaran.
“maaf, saya tidak banyak waktu untuk bercanda. Siapa anda, mengaku sebagai adik saya pada reseptionis?” tambah Natasyah dengan suara yang jelas terdengar jengkel.
“Santai, sob santai. Kamu tidak mengenal suara ku? Astaga Natasyah, kamu meninggalkan ku begitu saja di pelabuhan tadi” penelpon ini mencoba memancing ingatan natasyah
“hahahah, maafkan saya. Kupikir orang dari kota ini yang menelpon. Jesica, sekarang kamu dimana?” Natasyah tampak sangat lega ternyata yang ingin menghubunginya adalah teman seperjalanannya Jesica, seorang putri bangsawan dari Sumatera yang sedang dalam misi keliling Indonesia.
“pertanyaan mu aneh, tentu saja saya di hotel Jewel Day. Memangnya saya punya kenalan disini selain dirimu?”
Natasyah tertawa mendengar jawaban temannya, memang benar kemana lagi seorang pelancong yang tidak punya kenalan kalau tidak ke hotel Jewel Day, hotel satu-satunya di Kota Daywon.
Pembicaraan lewan telepon mereka berlanjut. Hingga Natasyah memutuskan untuk segera ke kamar Jesica.
“Jesica, ada baiknya saya ke kamar mu daripada pulsa ku habis hanya untuk menelpon mu sementara kita berada di gedung yang sama. Sekalian aku ingin mengajakmu keluar. Kota ini sangat cantik pada saat malam hari”
Natasyah memutuskan teleponnya, bergerak cepat memakai pakaian dan menyisir rambutnya, kemudian mengambil sebuah jaket wol dan pergi meninggalkan kamarnya menuju kamar 215 yang di sewa jesica.
Di lantai 3 pintu lift terbuka, nampaknya seseorang juga akan masuk. Natasyah tercengang melihat sosok wanita yang dilihatnya, janda tanpa anak si pemilik hotel. Natasyah berharap wanita itu tidak mengenalinya, meskipun dia sangat mengenali wanita itu. Bagaimana tidak, wanita itu salah satu alasan orang tuanya harus bercerai. Nyonya Arthati melihatnya dan tersenyum, seperti dugaan Natasyah wanita itu betul-betul tidak mengenalinya.
Dendam lamanya ke wanita itu kembali, ingatan akan kejadian-kejadian 3 tahun yang lalu kembali. Bagaimana dia menjadi satu-satunya anak yang mengetahui masalah rumah tangga orang tuanya, menemani ibunya menerima kenyataan bahwa ayahnya punya skandal dengan janda kaya itu, dan mengetahui kenyataan bahwa ayahnya menjual rumah mereka dan memaksa pindah ke gedung hanya agar janda itu lebih sering mengajak ayahnya ke rumahnya, tanpa harus ada beban pulang ke rumah karena ayahnya sudah tidak punya rumah.
Pintu lift terbuka dilantai 2, Natasyah bergegas keluar sangat tidak ingin berlama-lama bersama wanita itu dan kemudian meluncur mencari kamar Jesica.
Hanya beberapa menit saja Natasyah sudah menemukan kamar teman seperjalanannya yang terletak tidak jauh dari pintu lift. Dia memencet bel segera, dan tak berapa lama Jesica muncul dengan pakian yang rapi sepertinya sangat siap untuk jalan-jalan. Jesica, gadis berumur 22 tahun memiliki tubuh pendek dan sedikit gemuk, dari penampakannya tak seorang pun akan menyangka bahwa dia seorang anak bangsawan.
Dengan senyum di wajah Jesica, tampaknya Natasyah tidak bisa lagi mengulur-ulur waktu untuk tidak mengajak temannya ini melihat kota sperti yang dijanjikannya.
III.    Gedung di Utara kota.
Sementara itu, di Gedung kawasan utara kota dekat perbukitan, Melinda duduk termenung di kamarnya di lantai 6, lantai tertinggi gedung itu. Menatap jauh ke bawah seolah sedang memperhatikan sesuatu sedangkan yang ada dalam pikirannya adalah bayangan kakaknya sore tadi.
Suara ketukan membuyarkan nya, seorang gadis kecil dengan pakaian tidur masuk ke kamarnya yang bercatkan biru langit dengan atap kaca yang transparan dan mulai mendekatinya.
“Ericha, kamu belum tidur sayang?”
“tidak bisa tidur, kak Loni belum pulang. Saya takut tidur sendiri.” Jawab gadis kecil itu polos.
Jam memang menunjukkan pukul 20.30 waktu itu, memang sudah saatnya adik terkecilnya tidur. Namun tampaknya Lonita, teman sekamar adiknya ini belum juga datang.
“kak Loni kemana? Oh iya, sudah jenguk kak Joe belum?” Melinda juga mendekati adiknya dan mengelus rambut pendek adiknya dengan lembut.
Melinda sebenarnya sangat ingin memberitahu adiknya bahwa kakak tertua mereka kembali ke kota ini, tapi keraguan muncul seiring dengan bayangan kakaknya yang menginginkan kejutan untuk mereka sore tadi
“Kakak kenapa?” Ericha tampak membaca raut wajah nya.
“eh? Malam ini tidur dengan kakak saja yah.”
Ericha tampak sangat gembira, karena jarang kakanya yang satu ini mengajaknya tidur bersama. Dengan semangat Ericha terjun ke kasur empuk di kamar itu, memandang bintang yang Nampak jelas di atas mereka. Melinda ikut mendekat dan juga berbaring di samping Ericha.
“kak Joe parah, bahkan saat kujenguk sebelum  kesini dia tidak lagi senyum seperti kemarin!” tiba-tiba saja Ericha memancing pembicaraan dengan Melinda.
Melinda hanya bisa terdiam mendengar adiknya tanpa mengatakan sepatah kata pun, dan kembali mengusap kepala adiknya seperti memberi sebuah kode bahwa sudah waktunya Ericha tidur. Melinda menatap kosong ke atap dan memikirkan bagaimana dia bisa mempertemukan saudara-saudaranya dengan kak Natasyah terutama Joe.
Sementara itu seorang pria dengan rambut yang sudah mulai beruban perawakan orang Eropa dengan stelan jas biru tua yang sangat rapi terlihat memasuki pintu utama gedung itu. 2 orang security terlihat menyapa dengan sangat hormat pada pria itu. Sambil menunggu pintu lift terbuka pria itu mengamati sekelilingnya, dan tatapan terhenti dan tertuju pada sosok gadis berambut ikal yang baru saja memasuki gedung itu. Wajah pria itu memerah saat melihat gadis itu. Merasa sangat diperhatikan, gadis itu memalingkan wajahnya menghela nafas sejenak kemudian berjalan menuju tangga yang ada di arah kirinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pintu lift terbuka, lama hingga tertutup dengan sendirinya, pria tadi hanya terdiam tanda masuk ke lift dan akhirnya memutuskan untuk kea rah tangga mengikuti gadis tadi.
“Vivian, dari mana saja kamu?” ujar pria itu setengah teriak di deret anak tangga ke 5 kepada gadis yang diikutinya. Aksennya yang sangat Indonesia tidak sepadan dengan wajahnya yang khas Eropa. Tuan Bill, memang keturunan oaring Eropa tetapi sejak umur 3 tahun dia sudah berada di Indonesia. Jadi wajar bila aksennya sangat khas Indonesia.
“Maaf tuan Magqual saya pikir tidak harus memberitahu anda kemana saja saya akan pergi, dan lagi anda tidak perlu khawatir saya pasti kembali ke gedung ini sampai saya bisa lepas dari anda. Maksud saya, sampai detik ini saya masih butuh uang anda untuk hidup!!” nada bicara Vivian sangat ketus kepada ayahnya sendiri. Kejadian 3 tahun lalu terjadi saat Vivian masih berumur 12 tahun. Saat itu Vivian menjadi sangat membenci ayahnya sendiri karena menganggapnya telah menghianati ibunya, dan membiarkan dirinya dan saudara-saudara nya yang lain kehilangan sebuah keluarga. Semenjak itu pula, semenjak merasa tidak punya keluarga lagi, dia tidak pernah memanggil tuan Bill dengan sebutan ayah. Bahkan sifatnya berubah drastic, dari seorang gadis manis yang taat aturan orang tua, menjadi sosok yang sangat nakal, brutal dan tidak bisa diatur. Beberapa kali dia harus berhadapan dengan polisi karena tertangkap basah sedang minum minuman keras dan masuk di sebuah diskotik di kota itu dengan umurnya yang belum sewajarnya. Di usianya yang 15 tahun dia terlalu cepat dewasa.
Tuan Bill hanya terdiam di tempatnya saat mendengar kata-kata anaknya, sepertinya dia sudah tahu respon yang akan diberikan anaknya ini. Tanpa berbalik sedikitpun Vivian melanjutkan langkahnya menaiki tangga demi tangga menuju kamarnya di lantai 6.
Dilantai 6 gedung itu memang sudah disiapkan tuan Bill sebagai rumahnya. 4 buah kamar tidur di lantai itu yang saling berhadapan, sebuah dapur, ruang tengah, dan meja makan.
Vivian yang baru datang menyempatkan singgah di kamar Joe.
“kak Joe, apa kabar?” sapanya seraya mendekati kasur Joe yang berbaring lemah di sana. Mengetahui bahwa dirinya tak akan mendapat respon dari lawan bicaranya, dia mulai memegang tangan Joe kiri Joe yang tidak dipasangi infuse.
“Kak Joe, aku bawa kabar gembira. Kali ini aku tidak bohong. Kakak harus percaya. jadi bangunlah kak.” Suara Vivian sedikit merintih, air matanya mulai menetes. Menghela nafas dan menghapus air matanya dan kemudian melanjutkan kata-katanya “aku ingin cerita ke kakak tentang siapa yang baru saja kulihat malam ini diperjalanan pulang, kakak tidak akan menyangka. Aku pun tidak percaya dengan apa yang kulihat” menyeka air matanya lagi, kini air matanya mengguyur entah air mata sedih ataukah bahagia “kak Joe!” sedikit menggertak “kak Natasyah….. kak Natasyah kembali!” suara isak tangis kini mulai terdengar agak keras. Sambil menundukkan kepalanya di kasur Joe, tangisannya semakin menjadi-jadi. Tangisan itu berlanjut cukup lama, terdengar sangat menyedihkan, ditambah tak ada jawaban atau signal bahwa lawan bicaranya mendengarkan perkataannya, bahkan mata Joe pun tertutup.
Terdengar hembusan nafas yang sangat besar dari Vivian
“kak Joe, aku pergi dulu. Cepat sembuh kak. Kami merindukan mu” Vivian bangkit mencium kening kakaknya dan menunggalkan kamar Joe menuju kamar yang berada di depannya, kamarnya dan Melinda.
Tanpa mengetuk pintu, Vivian masuk ke kamarnya dan dilihatnya 2 gadis yang sedang telentang di atas kasur. Raut wajah Vivian tampak sedikit heran melihat Ericha ada di sana. Tanpa sepatah kata, dia menuju toilet dan secepatnya terlihat dia sudah mengenakan pakaian tidurnya mendekati kasur dan berbaring di dekat kedua gadis tadi.
Sedangkan dari luar terdengar suara hentakan pintu yang cukup keras, sepertinya itu suara tuan Bill yang masuk ke kamarnya dengan perasaan yang sangat marah pada Vivian.
“minum lagi?” terdengar suara dari salah satu gadis tadi. Suara yang terdengar sedikit berat karena ngantuk. “sudah gosok gigi? Ada Ericha di sini, sebaiknya dia tidak mencium bau alcohol darimu”
“iyah sudah!” masih dalam keadaan memejamkan mata tiba-tiba Vivian duduk tersentak. Dia harus memberitahu kakaknya yang dilihatnya tadi.
“kak Mel!”
“eh?” Melinda masih memejamkan matanya
“tebak siapa yang baru saja kulihat di perjalanan pulang dari Mocafri!”
Melinda akhirnya membuka mata dan ikut duduk. Sepertinya dia bisa menebak tapi tetap tidak menyampaikan tebakannya karena masih ragu.
“kak Natasyah!” ujar Vivian “Aku melihatnya dari taksi saat perjalanan pulang tadi”
Melinda sudah menduga siapa yang dilihat adiknya ini, dan merasa sangat lega bahwa aka nada seorang lagi yang bisa membantunya membujuk saudaranya ke taman besok.
“Believe me, itu kak Natasyah! Aku sangat yakin” lanjut Vivian merasa bahwa Melinda tidak mempercayainya karena telah banyak kebohongan tentang kembalinya Natasyah sebelum-sebelumnya.
Dengan tersenyum Melinda menatapnya tajam.
“aku percaya, tadi sore aku berbicara lama dengannya!”
Sekarang raut wajah Vivian yang menandakan ketidakpercayaan, dia merasa digoda oleh kakaknya.
“kamu pikir aku bohong? Apakah tampang ku seperti berbohong? Bahkan besok sore kak Natasyah menyuruh kita berlima menemuinya di taman, di bawah pohon Daywon”
Sekarang sepertinya Vivian percaya, bahkan terlihat sangat gembira tapi tiba-tiba saja wajahnya kembali murung. Melinda seperti tahu apa yang dipikirkan adiknya.
“yah, aku juga bingung harus bagaimana. Dia belum tahu keadaan Joe. Aku sudah memikirkannya dari tadi sore saat kembali dari taman dan belum dapat solusinya”
“kita harus membawa kak Joe besok!” tiba-tiba sajah wajah Vivian kembali cerah. Tampaknya ide aneh muncul di kepalanya
“tapi bagaimana?” Melinda sangat tidak yakin dengan perkataan Vivian “bahkan kak Joe tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya!”
“tapi dia masih sadarkan? Bisa melihatkan? Ya, meskipun suaranya tak pernah terdengar” Vivian terdengar enteng mengatakannya, membuat Melinda khawatir meskipun ada sedikit harapan dari nada bicara Vivian yang sangat bersemangat. Apa yang bisa dilakukan oleh gadis brutal ini? Jangan sampai dia membuat kekacauan. Pikir Melinda.
“waktunya tidur, besok harus menyusun rencana dengan baik. Hmmm!” ujar Vivian pada dirinya sendiri.
Melinda memperlihatkan wajahnya yang tampak sangat penasaran dengan apa yang akan dilakukan adiknya namun tetap tak mempertanyakannya. Dia membiarkan Vivian tidur dimalam yang semakin larut itu. Dan juga membaringkan tubuhnya dan berusaha kea lam tidurnya dengan berbagai banyak hal dalam pikirannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar